subscribe to RSS

Perspektif Al-Fahmu Yang Diinginkan Atas Setiap Ikhwah

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on Wednesday, March 17, 2010
Share


Dalam Rukun Bai’at yang sepuluh imam Syahid Hasan Al-Banna meletakkan rukum Al-Fahmu pada urutan pertama dan menjadi penunjang akan esensi yang harus dilakukan oleh seorang ikhwah, jika al-fahmu dapat dikuasai maka nescaya seorang ikhwah tidak akan sulit memahami Islam secara kaffah seperti yang difahami oleh gerakan Ikhwanul Muslimin, dan memahami apa yang seharusnya dilakuakan oleh seorang ikhwah dalam berbagai langkah dan kehidupannya bersama gerakan Ikhwanul Muslimin.

Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa Imam Syahid Hasan Al Banna mendahulukan pemahaman dalam Arkanul Bai’ah ini. Ustadz Dr. Yusuf Al Qaradhawi menjelaskan bahwa urutan yang dibuat oleh Imam Syahid Hasan Al Banna sudah tepat. Kerana beliau tahu betul skala prioriti, mendahulukan apa yang harus didahulukan.

Skala prioriti dalam memperjuangkan Islam haruslah diperhatikan. Hal ini jelas, yang hampir tidak seorangpun diantara para pemikir dikalangan umat Islam yang memperselisihkannya. Dengan menentukan skala prioriti dalam melakukan kegiatan dakwah, tarbiyah, gerakan dan penataan ini yang keseluruhannya adalah merupakan unsur utama bagi setiap usaha penegakan Islam. Atau penghidupan kembali manhaj Islam dalam diri manusia, akan terwujudlah kebangkitan dan kebangunan di seluruh wilayah Islam sebagaimana yang kita saksikan saat ini.

Beliau lalu menjelaskan fungsi pemahaman selaras dengan aksioma, pemikiran harus mendahului gerakan, gambaran yang benar merupakan pendahuluan dari perbuatan yang lurus. Kerana ilmu merupakan bukti keimanan dan jalan menuju kebenaran. Para ahli sufi juga membuat alur: ilmu akan membentuk sikap, sikap akan mendorong perbuatan. Sebagaimana pernyataan psikolog yang menyatakan ada alur antara pengetahuan, emosi dan perbuatan.

Prinsip Al Fahmu dengan 20 prinsipnya merupakan deklarasi bahwa Islam adalah penyelesaian. Kerana Islam adalah penyelesaian maka kaidah-kaidah yang ada dalam Al Fahmu ini akan menjadi kaidah dasar dalam melakukan segala aktiviti. Seperti halnya yang telah diterangkan pada prinsip pertama dalam rukun Al-Fahmu ini tentang Syumuliatul Islam:

“Islam adalah sistem yang syamil (menyeluruh) mencakup seluruh aspek kehidupan. Ia adalah Negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang, ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, serta pasukan dan pemikiran. Sebagaimana ia juga aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih”

Prinsip pertama ini mengajarkan kepada kita bahwa aktiviti kita sehari-hari bukan hanya aktiviti semata yang tidak berlandaskan pada Islam, setiap muslim harus menyaderi, mengetahui, meyakini dan mengamalkan Islam sesuai dengan kebesaran Islam itu sendiri. Sehingga semua permasalahan kehidupan baik yang yang pribadi dan yang lebih besar dari pada itu disandarkan pada tata aturan Islam.

Tidak ada pemisahan antara agama dan negara, seperti ungkapan ,” berikanlah hak negara kepada raja, dan berikanlah, hak agama kepada Tuhan.” Tidak akan pernah ada sekularisme dan liberalism dalam pemikiran dan aktiviti lainnya di muka bumi ini. Dan hal ini sepadan dengan firman Allah yang memerintahkan umat Islam untuk masuk ke dalam agama Islam secara kaffah.

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (Al-Baqarah:208)

Pembahasan mengenai Rukun Al Fahmu dan 20 Prinsip ini sudah banyak sekali bertebaran di buku-buku yang ditulis oleh para pewaris Dakwah Imam Syahid Hasan Al Banna. Inti dari landasan Syar’i aktivitas berlandaskan Rukun Al Fahmu dapat kita ketahui diakhir rukun Al Fahmu ini Imam Syahid Hasan Al Banna menutupnya dengan kata-kata:

“Apabila saudaraku Muslim mengetahui agamanya dalam kerangka prinsip-prinsip tersebut, maka ia telah mengetahui makna dari Syi’arnya : Al Qur’an adalah undang-undang kami dan Rasul adalah Teladan kami. Artinya kerangka aktiviti hidup kita di dunia harus selalu berada dalam pedoman Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.

Urgensi Al-Fahmu

Al-Fahmu dalam diri setiap ikhwah adalah suatu keniscayaan, sebab ia dapat membantu keselamatan amal, baiknya penerapan dan memelihara pelakunya dari ketergelinciran.

Umar bin Abdul Azia berkata: “Barangsiapa yang beramal tanpa di dasari ilmu, maka unsur merusaknya lebih banyak daripada maslahatnya”. [Sirah wa manaqibu Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Al-Jauzi; 250]

Orang yang ikhlas beramal tetapi tidak memiliki pemahaman yang benar dan tidak mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya mungkin dapat tersesat jauh. Rasulullah saw bersabda:

فقيه واحد أشد على الشيطان من ألف عابد

“Satu orang faqih itu lebih berat bagi syetan daripada seribu ahli Ibadah” [At-Tirmidzi: 5/46. Nomor:2641]

Umar bin Al-Khattab juga berkata: “Kematian seribu ahli ibadah yang selalu shalat malam dan berpuasa di waktu siang itu lebih ringan daripada kematian orang cerdas yang mengetahui hal-hal yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah”. [Jami' bayanil ilmi wal fadhlihi; Ibnu Abdul Barr: 1/26]

Rasulullah saw bersabda: “Semoga Allah memberi kecerahan pada wajah seseorang yang mendengar hadits dariku, lantas ia menghafalkannya hingga dapat menyampaikan kepada orang lain. sebab, terkadang seseorang membawa suatu pemahaman (ilmu) kepada orang yang lebih paham. Dan, terkadang orang yang membawa sebuah ilmu bukan ulama.” [Abu Daud: 3/321. No. 3660 dan At-Tirmidzi: 5/33. No. 2656]

Allah SWT melebihkan satu nabi yang lain kerana kedalaman pemahaman yang dianugrahkan kepadanya. Allah SWT berfirman: “Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat), dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu”. (Al-Anbiya:79)

Ibnu Abbas dimuliakan meski masih muda usianya, melebihi kebanykan tokoh-tokoh senior lainnya, kerana pemahaman yang baik yang dikaruniakan Allah kepadanya. Sehingga, ia berhak menjadi anggota Majelis Syura Amirul Mukminin Umar bin Khattab saat itu.

Oleh kerana itu, wahai saudaraku, berusahalah memiliki pemahaman yang benar dan cermat. pemahaman yang mencapai dasar urusan dan menempatkan sesuatu pada tempatnya, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa meremehkan. Juga pemahaman yang jernih, murni, integral dan menyeluruh. Sebab, barangsiapa yang dikaruniai oleh Allah pemahaman yang benar, maka ia telah mendapatkan karunia yang banyak, keutamaan yang besar terhindar dari ketergelinciran dan terjaga dari penyimpangan.

Ibnu Al-Qayyim berkata: “Benarnya pemahaman dan baiknya tujuan merupakan nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan, hamba tidak dikarunia nikmat yang lebih utama setelah nikmat Islam melebihi kedua nikmat tersebut. Dua nikmat itu merupakan dua kaki dan tulang punggung Islam. Dengan keduanya, hamba terhindar dari jalan-jalan orang-orang yang dimurkai (yaitu orang-orang yang buruk tujuannya), dan dari orang-orang yang sesat (yaitu orang-orang yang buruk pemahamannya), serta akan menjadi orang-orang yang diberi nikmat (yaitu orang-orang yang baik pemahaman dan tujuannya). Merekalah orang-orang yang terbimbing di jalan yang lurus, di mana kita semua diperintahkan memohon kepada Allah dalam setiap shalat agar dibimbing ke jalan mereka.

Benar pemahaman merupakan cahaya yang disemayamkan oleh Allah dalam hati hamba-Nya. Dengannya , ia dapat membezakan antara yang baik dan yang buruk; yang hak dan yang batil; petunjuk dan kesesatan penyimpangan dan kelurusan..” [A'alamul Muwaqqi'in; Ibnu Al-Qayyim: 1/187] (al-ikhwan.net/dakwah.info/at)



Blogger Templates

Jadilah soleh dan solehah dahulu

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on
Share

www.iluvislam.com
tuan mohd rezza
editor: azzahra_solehah

Tidak dinamakan cinta suci jika nafsu menjadi sandaran utama. Bukan membuang perasaan fitrah insani mahu mencintai dan dicintai, namun tahu dan sedar di mana sasaran pengakhiran konsep cinta yang di bawa itu. Rumah tidak dibangunkan dalam masa sehari, cinta suci memerlukan perlakuan yang disaluti kesabaran tinggi, di mana terlatih sepanjang masa bersama keimanan yang kental dan utuh.
Dalam Islam cinta dan keimanan adalah dua perkara yang tidak dapat dipisahkan. Cinta yang berlandaskan Iman akan membawa seseorang kepada kemuliaan, sebaliknya cinta yang tidak berlandaskan Iman akan menjatuhkan seseorang ke jurang kehinaan. Cinta dan keimanan laksana kedua belah sayap burung. Imam Hassan Al Banna mengatakan bahawa: “Dengan dua sayap (Iman dan cinta) inilah Islam diterbangkan setinggi-tingginya ke langit kemuliaan”


Bagaimana tidak, jikalau Iman tanpa cinta akan pincang, dan cinta tanpa Iman akan jatuh ke jurang kehinaan. Iman tidak akan terasa lazat tanpa cinta dan sebaliknya cinta pun tidak lazat tanpa Iman. Kalau sudah tahu diri ini tidak terbaik di pandangan mata manusia, kenapa tidak berusaha menjadi sebaik mungkin dalam menambah fungsi diri mencapai kebaikan di sisi Dzat Allah Taala?

Kalau sudah tahu dan pasti diri tidak mampu memiliki pasangan soleh dan solehah, kenapa tidak mencari kurang soleh dan solehah, dan berusaha merubah menjadi soleh dan solehah? Berusahalah menjadi soleh dan solehah terlebih dahulu, pasti takdir ketentuan-Nya untuk anda dengan insan solehah dan soleh.

Blogger Templates

Timba Cari Perigi?

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on Tuesday, March 16, 2010
Share

Petikan diambil dari iLuvislam

Entiti seorang wanita tidak dapat lari daripada dikaitkan sebagai ciptaan yang mampu menentukan jatuh bangun masyarakat melalui peranannya sendiri mahupun melalui peranan yang dimainkan terhadap lelaki.

Ayat Al-Quran tersusun indah mengikut kecenderungan manusia. Ayat bab zina dimulakan dengan penzina perempuan (Az-zaniah) dan diikuti penzina lelaki (Az-zani). Ayat bab mencuri pula dimulakan dengan pencuri lelaki (As-sariqu) dan diikuti dengan pencuri perempuan (As-sariqatu). Diambil dari sini, permulaan pada bibit-bibit zina itu adalah melalui seorang wanita.

Namun kini, saya melihat situasinya mula berubah. Dahulu imej wanita itu dikaitkan sebagai penggoda sehingga mampu membawa seorang Abid ke lembah kekufuran dan beraneka lagi hikayat yang mengisahkan kejatuhan seorang lelaki yang hebat dek kerana tergoda dengan wanita yang cantik. Hikayat-hikayat ini sering menjadi bahan bacaan saya di waktu kecil.

Keadaan itu mungkin tidak berubah pada dunia secara global. Justeru kita melihat, pelbagai artikel ilmiah dan dakwah menyeru wanita supaya menjaga diri mereka. Mengelakkan diri daripada menjadi fitnah. Menjaga pemakaian dan pergaulan. Dari aspek menutup aurat sehinggalah ke aspek muamalah. Dari cara bercakap sehinggalah cara berjalan. Semuanya diambil berat terutama oleh golongan Adam yang mungkin rasa tergoda. Artikel-artikel yang menukilkan luahan rasa hati Adam yang sulit menundukkan pandangan dan sebagainya sangat kerap diulang siar.

Saya kadang-kala mahu marah. Sering wanita dipersalahkan. Tidakkah kalian sedar wahai Adam, ketika mana kalian sendiri menguarkan luahan hati bisikan iman kalian itu, kalian jualah yang membentuk dan menyuburkan pembiakan titik-titik hitam pada gumpalan darah bernama hati itu dengan pelbagai aktiviti mendekati zina yang kalian sendiri mulakan.

Contohnya senang, sejak terlibat aktif dengan dunia maya, bermula dengan Friendster pada tahun 2007, "Friendster Friend Request" saya majoritinya lelaki. Saya perhatikan itu.

Bercerita tentang YM, lagi banyak pengalaman. Percutian selepas SPM mengakibatkan saya bergerak aktif di alam maya sehinggalah kenalan YM saya bertambah dengan mendadak. Namun saya bersyukur, kerana hampir kesemua yang meng"add" saya di YM merupakan mereka yang mempunyai kesedaran agama dan perbincangan kami juga berkisar perihal yang perlu, dan amat membantu saya dalam proses pertukaran idea. Sungguh, saya rindu saat itu. Walaupun bercuti, minda saya berjalan dengan bantuan mereka. Saya yang baru bertatih mengenal dunia luar seakan-akan mendapat jalan pintas untuk ke aras pemikiran yang lebih matang. Dan saya tidak kisah, kenalan lelaki mahupun wanita, asalkan matlamat ilmu itu tercapai.

Sehinggalah ketibaan saya di bumi Mesir, mungin kerana sistem maklumat yang sangat canggih, saya juga tidak tahu bagaimana id YM saya dan beberapa rakan tersebar kepada golongan** yang tidak kami kenali, dan sekadar di"add" di YM untuk menambah koleksi barang kali. Kadang-kala saya mendengar cerita perbualan yang saya kira berlebihan melalui YM. Bukan sekali, sewaktu saya menatap skrin handset atau laptop yang sedang digunakan rakan-rakan saya, golongan** ini mem'BUZZ' dan memulakan perbualan yang saya kira sangat mengarut. Bukanlah saya tidak pernah chatting dengan lelaki, cuma saya merasakan mereka sangat mengarut dan menggunakan istilah yang amat tidak patut.

Akhirnya saya minta kebenaran rakan-rakan saya tadi untuk menegur kelakuan kenalan YM mereka itu. Biarlah mereka mengganggap saya syadid atau skema, yang pasti saya mahu mereka jelas dengan situasi.

Kisah saya sendiri pula, ramai (yakni lebih dari satu) juga yang meng"add" YM saya entah-dari-mana, yang memulakan perbualan secara "gedik". Seboleh mungkin saya cuba membalas mesej mereka sebelum akhirnya saya berterus-terang tentang pandangan dan perasaan saya dalam bentuk teguran langsung.

Dari cerita seorang kawan pula, kedapatan seorang lelaki ini yang saya kenali sebagai seorang yang pandai berkata-kata. Dia sering me"misscall" rakan saya ini, dan sering kali juga meminta credit sharing. Sedangkan dari yang saya kenal, si lelaki ini sering memuatkan artikel Islamik di blognya dan termasuklah juga artikel yang saya sebutkan sebagai peringatan kepada wanita.

Maka, wanitakah penggoda?

Persoalan ini saya ajukan kepada ibu saya. Jawab Ummi, begitulah zaman sekarang. Kita sebagai wanita yang perlu pandai jaga diri. Maka wanita, jagalah diri anda kerana mereka yang meminta anda menjaga diri itu sebenarnya sedang dalam kegagalan menjaga diri sendiri.

Bagi saya, saya suka mencari kenalan baru, bertukar pandangan dan idea, ilmu serta maklumat, pengalaman dan kemahiran, tapi tidak untuk bergedik santai, kerana itu satu penghinaan buat saya sebagai seorang Muslimah.

**Golongan yang dimaksudkan terpaksa dirahsiakan demi kemaslahatan bersama

Oleh : humaira al-hamra

JAWAPAN :

Assalaamu'alaykum warahmatullah.

Pertama sekali, segala puji bagi Allah dan jazakillah khayran kathira atas artikel yang menarik ini.

Pada pendapat saya, sebelum bisa isu seperti ini dibahaskan adalah lebih baik andai kita meletakkan jauh-jauh sentimen berkenaan jantina. Ini kerana, apabila kita berbahas untuk mempertahankan sesuatu jantina maka perbahasan itu tidak ke mana. Mari betulkan niat berbincang dan berbahas kerana Allah semata dan dengan niat mencari penyelesaian, bukan untuk mencari siapa yang patut dipersalahkan.

Saya tidak mahu komen panjang berkenaan isu ini kerana saya rasakan ianya sudah banyak diperbahaskan merata tempat dan jawapannya akan kembali kepada syariat yang ditetapkan Allah melalui PesuruhNya, Nabi Muhammad, iaitu lelaki dan perempuan keduanya perlu pandai menjaga diri mengikut Sunnah Nabawi.

Menyentuh persoalan di timbulkan oleh saudara Pemuda Baru Belajar:

Pada pendapat saya, tidak salah lelaki menggunakan bahasa yang lebih lembut apabila berbicara dengan wanita. Sudah Sunnatullah yang wanita mempunyai emosi yang lebih lembut dan mudah terluka, jadi para lelaki perlulah berlembut bila berbicara. Tetapi perlu tahu batas, jangan berlebihan sehingga tahap menggatal.

Buat wanita pula, jagalah kelembutan bicara dan kelunakan suara. Ini Syari'atullah yang ada dinyatakan dalam Kalaamullah. Firman Allah melarang wanita menarik perhatian lelaki dengan menghentakkan kaki berperhiasan, apatah lagi bila melunakkan suara sehingga menaikkan syahwat lelaki. Kelembutan wanita bukanlah kelemahan, tetapi perhiasan mereka. Tetapi, kelembutan itu hanyalah perhiasan untuk lelaki yang halal baginya yang bergelar suami dan bukan yang lain.

Wallahu a'lam.

Oleh : hafiz_chouji

Blogger Templates

Ayat-ayat Cinta

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on
Share

Assalamualaikum kawan-kawan.

Jom kita tadabbur daripada ayat-ayat quran sket.

(Quran m/s 208-209, Yunus:5-14)

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa.

Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami,

mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya , di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh keni'matan.

Do'a mereka di dalamnya ialah: "Subhanakallahumma", dan salam penghormatan mereka ialah: "Salam". Dan penutup do'a mereka ialah: "Alhamdulillaahi Rabbil `aalamin."

Dan kalau sekiranya Allah menyegerakan kejahatan bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pastilah diakhiri umur mereka. Maka Kami biarkan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, bergelimang di dalam kesesatan mereka.

Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo'a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo'a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.

Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat yang sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa.

Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.

Dari AfiqAwe

Blogger Templates

[15] Islam dalam kehidupan ana

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on Monday, March 15, 2010
Share

Assalamualaikum dan salam sejahtera, setelah sekian lama ana tidak berkongsi pengalaman ana. Asyik-asyik cut n paste artikel orang jer, hehe. Jadi, malam ni tetiba ana ingin berkongsi pengalaman ana setelah mempraktikan cara hidup ana dengan cara yang diajar oleh islam. Islam terlalu sempurna, sekiranya diletakkan sebagai prinsip-prinsip hidup, hidup antum akan menjadi lebih bermakna.

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (Al-Baqarah:208)



Dahulu, ana selalu pasang niat hanya untuk diri ana, contohnya, "ana nak belajar bidang perubatan ni dengan harapan nak kerje kat hospital, pastu klo ade peluang, dapat hospital swasta, takpun buka klinik sendiri". Itu hanya salah satu contoh, byk lagi contoh-contoh niat ana yang hanya pentingkan diri ana sendiri, langsung tidak terniat untuk buat sesuatu demi Allah azzawajalla.

Bayangkan, kita sekarang bagaikan di pentas, ape yang kita dpt di dunia ini hanya bagai prop di pentas tayangan. Langsung ana terlupa bahawa dunia yang kekal iaitu akhirat, di sanalah dunia sebenar. Ana tidak menyatakan kita abaikan dunia, hanya bekerja untuk akhirat. Sekiranya kita memahami islam, praktik kan dalam hidup seharian, itulah islam. Berjaya di dunia dan di akhirat.

Setiap kali ana tidur, setiap kali ana membaca artikel, setiap kali ana menulis artikel untuk dikongsi kita bersama, setiap kali ana keluar dari hostel ana, ana sentiasa mengingati diri ana supaya sentiasa berniat demi Allah, biar Allah meredhai segala tindak tanduk ana dan permudahkan hari-hari ana, jauhi ana dari godaan syaitan dan hawa nafsu sesungguhnya ana hanyalah hambaNya yang terlalu lemah.

Allah tidak pernah mengabaikan kita, bagi sesiapa yang rasa dirinya terlalu hina, atau rendah diri kerana selama ini langsung tidak beriman kepadaNya, segeralah taubatmu, kerana Allah maha pengampun. Ana ialah contohnya, ana dibekalkan ilmu agama dari bapa ana, namun ana langsung tidak menghargainya, ana mempersiakannya. Namun, alhamdulillah, ana sekrang berserah sepenuh diri kepada Allah dan inshaAllah sekiranya Allah mengizinkannya, ana akan tetap terus beriman kepadaNya dan akan bersungguh untuk melakukan dakwah dan tarbiyah demi agama islam yang ana berserah diri.

Semoga, kita dapat melakukan sedikit sebanyak pengisian walaupun ana tahu, ana hanyalah hambaNya yang terlalu lemah dengan dugaanNya. Allahuakbar!

Blogger Templates

Cara menahan Amarah

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on
Share

Petikan diambil dari Hidup itu Indah

Sifat pemarah dan panas baran adalah suatu emosi yang kadang-kadang berlaku kepada manusia biasa. Marah tidak digalakkan di dalam Islam dan perlu dikawal kerana ia memberi impak negatif terhadap keperibadian, keseimbangan akal dan keharmonian masyarakat.


Cara mengatasi marah dalam Islam ialah:

1. Mengubah Posisi - Rasulullah s.a.w bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu marah, dan ketika itu ia dalam kedudukan berdiri, maka hendaklah ia duduk. Kerana hal itu akan menghilangkan marahnya. Dan kalau tidak, maka hendaklah ia berbaring.” (Riwayat Muslim)

2. Berwuduk - Rasulullah s.a.w bersabda: “Marah itu datangnya daripada syaitan, dan syaitan itu diciptakan daripada api, sedangkan api itu hanya dipadamkan dengan air. Oleh itu apabila salah seorang di antara kamu marah, maka hendaklah ia berwuduk” (Hadis Riwayat Abi Daud) .

3. Minum air.

4. Mendiamkan diri ketika marah.. banyakkan istighfar di dalam hati.

5. Berlindung kepada Allah daripada syaitan.

6. Meluahkan perasaan dan masalah dalam keadaan masa dan tempat sesuai.

7. Berfikiran positif.

8. Belajar menyampaikan kemarahan secara positif dan terhormat; elakkan daripada memekik atau bertindak garang.

9. Bawa bertenang seperti menarik nafas.

10. Senyum kerana senyuman mampu meredakan tekanan.

Wallahu wa'lam...

Blogger Templates

Bersolek dibenarkan untuk wanita

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on Sunday, March 14, 2010
Share

Petikan diambil dari Islam itu Indah dan Mudah

Di dalam surah al-Nur, ayat 31:
"Katakanlah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa keliahtan padanya, dan hendaklah mereka meletakkan penudung pada dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka.."

*****
Di atas adalah di antara nash syar'I yang menjadi dasar berpakaian dalam Islam dan berhias (utk wanita).

Kemudian pada ayat lain Allah berfirman:
"dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkahlaku (tabarruj) seperti orang-orang jahiliah dahulu". (Al-Ahzab:33)

Ayat ini pula menceritakan tentang larangan bertabarruj sebagaimana orang jahiliah dahulu.

**************
Apa itu tabarruj yang di maksudkan di dalam firman Allah:
"dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkahlaku (tabarruj) seperti orang-orang jahiliah dahulu (pertama)". (Al-Ahzab:33)

Ayat di atas sebagai irsyad ( petunjuk/tunjuk ajar) kepada isteri-isteri Nabi s.a.w. agar tetap di rumah dan tidak bertabarruj sebagaimana orang-orang jahiliyah dahulu.

Tabarruj dikatakan sebagai berjalan dengan berlenggang-lenggok atau memperelokkannya. Lagi satu pendapat lain mengatakan, tabarruj ialah memperlihatkan keelokkan/kecantikkannya yang sepatutnya wajib ditutup.

Tabarruj berasal dari kata BARAJUN, bererti luas. Dan ada yang mengatakan ia berasal dari kata BURJUN yang bererti tinggi.

************

Selesai mengenai erti tabarruj Dan, lihat kembali ayat al-Quran: ".orang-orang jahiliyah dahulu."

Tabarruj yang dikaitkan dengan orang-orang jahiliyah dahulu. Siapakah mereka itu? Pada zaman mana orang-orang jahiliyah dahulu berada? Di dalam tafsir al-Qurthubi menyatakan beberapa pendapat mengenainya:

  1. Iaitu masa antara Adam dan Nuh a.s., ini adalah pendapat al-Hakam bin Uyainah.
  2. Ibnu Abbas berpendapat: Masa di antara Nuh dan Idris a.s.
  3. Al-Kalbi: Masa di antara Nuh dan Ibrahim a.s.
  4. Jamaah: Masa di antara Musa dan Isa a.s.
  5. Abu Aliyah: Masa di antara Daud dan Sulaiman a.s.
  6. Al-Sya'bi: Masa di antara Isa a.s. dan Muhamad s.a.w.

Namun semua pendapat itu tidak disandarkan dengan satu sumber yang kukuh dan sahih. Cuma yang pasti, semua mereka di atas bersepakat mengatakan bahawa jarak masa antaranya dan masa Nabi Muhamad dibangkitkan sebagai Rasul adalah jauh (jangkamasa yang begitu lama). Dan, apabila al-Quran menyebutkan "jahiliyah dahulu" - dahulu/lama/pertama - bermaksud di sana ada yang dikatakan sebagai `jahiliah baru' atau `jahiliyah kedua'.

Bila masa jahiliyah kedua berada? Iaitu selepas jahiliyah pertama dan sedikit masa sebelum kebangkitan Nabi kita Muhamad s.a.w.

Mengapa jahilyah pertama/dahulu ini dikaitkan dengan tabarruj? Buruk sangatkah mereka ini? Hodoh sangatkah perangai depa ni? Ya, gambarannya lebih kurang begini:
Perempuan-perempuan jahiliyah pertama/awal pakaiannya - memakai baju dari lu'lu', atau baju dari mutiara dan intan yang tidak berjahit kedua belah, dan berpakaian tipis yang menampakkan tubuh badannya. Dengan berpakaian begini, mereka akan berjalan di jalan-jalan mempamerkan diri mereka kepada kaum lelaki. Dan, dapat dirasakan bahawa zaman berkenaan adalah zaman yang penuh dengan kemewahan.

Era jahiliyah kedua yang akan berhubung dengan era kebangkitan Muhamad sebagai rasul tidaklah sampai ke peringkat begitu teruk. Namun ada juga sedikit sebanyak tabarruj yang berlaku, hingga kadangkala sampai ke peringkat telanjang terus. Ini dapat dibuktikan melalui hadis riwayat Muslim, bagaimana kaum wanita zaman itu bertawaf dalam keadaan telanjang bulat.

Sekarang ini jelaslah sudah mengapa Allah mengaitkan al-jahiliyah al-`Ula (jahiliyah pertama/dahulu) dengan tabarruj. Dan, dengan penjelasan di atas tidaklah bermakna yang terlarang ialah bertabarruj seburuk orang-orang jahiliyah pertama, kalau kurang daripada itu tidak mengapa. Tak apalah kalau tabarruj sikit-sikit. Ini adalah fahaman yang salah, kerana Allah menyebutkan sifat-sifat tabarruj jahiliyah pertama adalah bertujuan memberi penjelasan realiti yang berlaku ketika itu, bukannya mahu mengaitkan pengecualian hukum selain daripada itu. Ia lebih berbentuk penjelasan tentang keji dan berlawanannya perbuatan itu dengan citarasa serta naluri kemanusiaan.

Perlu diingatkan bahawa maksud tabarruj yang dilarang di dalam Islam ialah membuka aurat - berdasarkan kepada siapa dia berhadapan. Kalau di hadapan dengan lelaki asing, apa yang perlu ditutup. Jika tidak memenuhi kehendak ini, maka dia sudah tergolong di dalam perempuan yg bertabarruj. Begitulah seterusnya ketika di hadapan mahram, orang gaji dsbnya

Ya, selesailah sudah penjelasan mengenai tabarruj. Saya harap ia mudah difahami dan tidak membosankan. Dan, kita teruskan lagi ke pembahasan selanjutnya. Kali ini mengenai berhias pula.

Mari kita lihat lagi firman Allah:
Katakanlah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa kelihatan padanya, dan hendaklah mereka melatakkan penudung pada dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka.. (al-Nur, ayat 31)

Kita ambil sedikit petikan ayat: ..dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa kelihatan padanya.

Terjemahan ayat : kecuali yang biasa kelihatan padanya.. dapat juga diterjemahkan: kecuali apa yang zahir (illa ma zahara). Pada ayat ini Allah Taala melarang wanita mempamirkan perhiasan, kecuali apa yang zahir. Persoalannya di sini ialah, apa maksud perhiasan zahir yang boleh dipamirkan? Jadi, dapat difahami bahawa perhiasan ada dua:
  1. Yang zahir/nyata
  2. Yang tidak zahir/nyata (batin/dalaman/tersembunyi)

Apakah perhiasan zahir? Apakah pula perhiasan yang tidak nyata? Para ulama yang mengatakan muka dan rambut itu adalah aurat, mereka menafsirkan bahawa perhiasan yang zahir itu ialah pakaian itu sendiri. Bila wanita berpakaian, bertudung dan menutup muka, maka itulah dia maksud perhiasan yang zahir. Perhiasan yang tidak nyata pula ialah, rantai leher, gelang, anting-anting dsbnya..

************


Mereka yang memasukkan celak dan pewarna telapak tangan sebagai perhiasan yang boleh dipamerkan di hadapan lelaki ajnabi tidaklah dihadkan terhadap dua perkara itu sahaja. Ia disebutkan hanyalah sebagai wakil dari perhiasan-perhiasan lain yang biasa digunakan pada muka atau telapak tangan. Ia berdasarkan adat, tradisi dan kebiasaan satu-satu kelompok masyarakat. Berikut ini adalah antara perhiasan yang ada dan biasa digunakan oleh para wanita pada zaman Rasulullah s.a.w atau tradisi arab dahulu:
  1. Khidhab Pewarna untuk tangan
  2. Shufrah Pewarna kuning untuk wajah
  3. Kalkun Pewarna untuk memerahkan wajah
  4. Isfidaj Pewarna putih untuk wanita berhias.
  5. Celak Berhias pada mata
(Nanti akan disertakan dalil tentang kewujudan perhiasan ini)

***********
Zaman kita ini sudah tentu yang biasa digunakan sebagai perhiasan muka ialah gincu, bedak, losyen dan juga celak. Jadi, bila celak dan segala macam di atas itu boleh, mengapa tidak gincu? Sebab yang dibenarkan bukanlah diri celak itu secara khusus tetapi sesuatu yang lebih umum iaitu perhiasan yang biasa dilihat, yang biasa digunakan pada muka. Dan gincu serta bedak adalah termasuk di bawah keumuman ini.

Begitu juga dengan perwarna kuku, ia termasuk di bawah perhiasan yang boleh dipamerkan tetapi hendaklah dari bahan yang tidak menghalang air. Kerana jika air terhalang dari sampai ke kuku akan mengakibatkan wuduk tidak sah.

Berikut ini adalah sebahagian dalil kewujudan perhiasan di atas:

Dari Zainab binti Abu Salamah, dia berkata: Ketika datang berita kematian Abu Sufian dari Syam, Ummu Habibah meminta diberikan wangi-wangian berwarna kuning pada hari yang ketiga. Lalu dia mengusapkannya pada kedua pipinnya dan kedua lengannya. Dia berkata: Sesungguhnya aku benar-benar tidak memerlukan ini, kalaulah bukan kerana aku pernah mendengar Nabi s.a.w. bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian untuk berkabung atas mayat lebih dari tiga hari, kecuali atas suami, maka dia berkabung atasnya empat bulan sepuluh hari. (HR Bukhari & Muslim)

Wangi-wangian di dalam hadis bermaksud pewarna yang menyerlah warnanya dan tersembunyi baunya (tidak menyerlah dan menyemarak). Adakalanya ia disapukan di muka untuk memperelok warna muka atau pada telapak tangan.

Wajib berhias setelah tamat tempoh 3 hari berkabung kerana kematian, kecuali kematian suami yang tempoh perkabungan adalah selama 4 bulan 10 hari. Berhias di sini adalah untuk keluar dari tempoh perkabungan.

Dari Ibnu Abbas r.a., bahawa seorang wanita datang kepada Rasulullah s.a.w. untuk berbaiah kepadanya, tetapi perempuan itu tidak ber ikhtidab, sehingga baginda tidak mahu membaiahnya melainkan setelah ber-ikhtidab (HR Abu Daud)

Ikhtidab ialah sejenis pewarna yang biasa digunakan pada telapak tangan pada zaman itu.

Dari Abu Hurairah r.a katanya: Telah bersabda Rasulullah s.a.w.: Wangi-wangian lelaki adalah apa yang jelas baunya dan tersembunyi warnanya. Dan perhiasan wanita ialah apa yang jelas warnanya dan tersembunyi baunya (HR al-Tarmizi)

Dari Imran bin Husin, bahawa Nabi Allah s.a.w. bersabda: ingatlah bahawa wangi-wangian lelaki adalah bau tanpa warna. (HR Abu Daud)

Dari Ummu Athiyah, dia berkata: Adalah kami dilarang untuk berkabung terhadap seorang mayat lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suami, maka empat bulan sepuluh hari. Kami tidak boleh bercelak, berwangi-wangian dan memakai pakaian bercelup. (HR Bukhari & Muslim)

*********
Apabila kita menerima hujah yang mengatakan bahawa perhiasan yang zahir atau yang biasa dilihat itu adalah celak, gincu, bedak dan segala suku-sakatnya, maka perlu kita ketahui juga batas-batas yang perlu dipelihara. Iaitu:
  1. Memelihara niat dan tujuan berhias. Tidak bertujuan untuk menarik pandangan dan perhatian lelaki ajnabi.
  2. Dari segi praktiknya hendaklah bertepatan dengan niatnya. Iaitu tidak berhias secara berlebih-lebihan hingga atau yang dapat menarik perhatian serta menggugah perasaan lelaki ajnabi. Seperti bercelak dengan cara dan gaya yang dapat menarik perhatian. Atau bergincu dengan warna yang begitu menyerlah merah menyala-nyala. Atau berbedak dengan bedak yang berwarna warni. Di tambah dengan keharuman yang menyemarak. Atau memanjangkan kuku. Atau sebagainya.
  3. Tidak dari bahan yang mengeluarkan bau wangi dan harum menyemarak serta tersebar. Boleh dari bahan yang wangi tetapi yang tersembunyi baunya.

Ya, pokoknya bersoleklah secara sopan, bersahaja dan kemas serta menampilkan ciri-ciri wanita yang baik. Tidak kelihatan seperti wanita yang mahu memikat lelaki atau ciri-ciri wanita fasiq dsbnya. Seperti kita lihat ramai wanita hari ini yang bersolek mengenakan gincu, bedak dan segala macam Melebihi dari sekadar yang dibenarkan oleh syarak. Mereka ini berhias begini hanya diluar rumah sahaja, sedangkan ketika bersama suami keadaan adalah sebaliknya.

Lebih baik lagi jika diniatkan solekan itu sekadar untuk mengelakkan diri dari kusut masai, berserabut dan tidak terurus. Berginculah sekadar mahu mengelakkan diri dari kelihatan lesu, tak bermaya dan tidak cergas. Berbedak atau berlosyenlah sekadarnya sahaja dengan tujuan mahu menjaga kesihatan kulit muka dsbnya.

Ya.. Kalau bersolek itu tidak boleh, silakan saja. Pergilah ke pejabat atau mengajar ke sekolah, dan jangan bersolek samasekali. Pergilah dalam keadaan kusut masai dengan muka seperti orang yang belum mandi. Kelihatan lesu. Pakaian pula tidak bergosok. Berkedut sana dan sini. Baju bergosok, haram katanya. Ditambah lagi dengan bau peluh yang kurang enak dan menyengat hidung. Pakai wangian walaupun yang baunya tersembunyi utk menghindarkan dari bau peluh, juga haram katanya. Ya.. silakan saja..

Sudah tentu para wanita muslimah dapat menggambarkan bagaimana cara hendak menghindarkan keadaan di atas. Dan.. Kalau sudah dapat menggambarkannya, itulah dia solekkan yang dibenarkan oleh syarak ketika berhadapan dengan lelaki ajnabi. Sekadar mahu mengelakkan diri dari kusut masai dan nampak tidak terurus.

Bukan sekadar lipstik, malahan umumnya wanita memang tidak dapat dipisahkan dengan bersolek. Sebab sudah memang naluri semulajadi mereka sukakan begitu. Syeikh Athiyah Saqar mengatakan: Memperelok /menghias diri oleh seseorang manusia secara umumnya mempunyai kepentingan/kebaikan. Dan secara khususnya, menghias diri bagi seorang wanita mengandungi mara bahaya. Kecantikan adalah satu perkara yang disukai oleh jiwa/naluri. Ia mempunyai tempat di dalam agama, di mana ia dituntut secara syarak dengan kadar yang dapat membawa kepada tujuan yang baik darinya, serta terhindar dari perkara-perkara yang diharamkan dari sudut cara, tujuan dan maksud.

Blogger Templates

Hawa : Aurat atau Bukan

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on
Share

Mazhab Shafie yang menjadi ikutan majoriti umat Islam negara kita meletakkan bahawa suara wanita, muka dan tangannya adalah bukan aurat.

Baru-baru ini isu niqab (cadur) timbul apabila Sheikhul Azhar Sheikh Muhammad Tantawi meminta para siswi Al-Azhar agar melepaskan niqab. Walaupun ada pandangan mazhab lain mengatakan suara dan seluruh badan wanita adalah aurat namun yang jelas Mazhab Shafie yang menjadi ikutan majoriti umat Islam negara kita meletakkan bahawa suara wanita, muka dan tangannya adalah bukan aurat.

Dan yang jelas lagi, tidak ada dalil Al-Quran serta hadis mengatakan bahawa suara dan muka wanita serta tangannya itu aurat sebagaimana sangkaan sesetengah pihak. Apakah mereka sedar bahawa Allah S.W.T membenarkan para sahabat berkomunikasi dan bercakap-cakap dengan mereka (isteri Nabi) di sebalik tirai sebagaimana firman-Nya yang bermaksud:

Bertanyalah kepada mereka dari belakang tabir yang demikian itu lebih bersih bagi hati kamu dan mereka juga.
(Al-Ahzab: 32 dan 53)

Dalam suatu hadis, Rasulullah SAW bersabda bermaksud:


"Apabila seorang gadis itu dewasa (sampai umur), maka tidak halal badannya terdedah selain muka dan tangannya sahaja."

Hakikat ini menggambarkan sebagaimana apa yang berlaku terhadap Asma binti Abu Bakar apabila Asma datang berjumpa Nabi SAW dengan pakaian jarang dan nipis. Baginda berpaling daripadanya lalu bersabda yang bermaksud:


Wahai Asma, seorang wanita apabila sudah baligh, tidak elok lagi badan (tubuhnya) kelihatan selain muka dan tangannya sahaja.
(Riwayat Abu Daud)




Demikian juga kaum wanita itu disuruh melabuhkan (tutupkan) atas lubang tengkuknya sahaja bukan bermaksud tutup atas muka mereka. Kata Syaikh Yusuf al-Qardawi, pendapat Ibnu Abbas lebih kuat dan masyhur pada pandangan jumhur (kebanyakan) ulama, kerana katanya, banyak ayat dan hadis yang mengarahkan kaum lelaki daripada umat Islam menyekat atau menutup pandangan mata mereka, sama juga dengan kaum wanita disuruh merendahkan pandangan mata mereka.

Jika muka dan aurat wanita sudah tertutup kemas di depan mereka maka pastilah arahan tersebut menjadi sia-sia dan percuma tanpa sebarang makna dan tujuan. Pada prinsipnya suara, muka dan tangan wanita bukanlah termasuk aurat. Sekiranya perkara tersebut memang merupakan aurat, maka sukarlah bagi kaum wanita dan tentunya taklif atau beban syariat yang dikenakan kepada mereka bersifat usr iaitu sangat sukar.

Ini bercanggah dengan prinsip agama Islam bahawa Ad-Dinu Yusr, iaitu agama itu mudah, sedangkan kaum wanita juga merupakan 'makhluk sosial' yang berhajat untuk berkomunikasi dengan sesama insan. Allah SWT berfirman yang bermaksud:


Oleh itu janganlah kamu berkata-kata dengan lembut manja (semasa bercakap dengan lelaki ajnabi) kerana yang demikian menimbulkan keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya (menaruh tujuan buruk kepada kamu), dan sebaliknya berkatalah dengan kata-kata yang baik(sesuai dan sopan).
(Surah al-Ahzab: 32)


Allah tidak melarang mereka secara mutlak untuk bercakap dengan kaum lelaki bahkan membolehkan, selama tidak mendatangkan fitnah bagi dirinya dan bagi kaum lelaki itu. Allah melarang kaum wanita untuk melembutkan suara dan mendedah kecantikan mereka semasa bercakap dengan kaum lelaki supaya mereka tidak tergoda ataupun tergugat keimanannya dan menimbulkan berahinya.


Dengan demikian, pada prinsip suara, muka dan tangan wanita bukanlah aurat yang dilarang untuk dilihat atau didengarkan. Dahulu para sahabat daripada golongan lelaki dan wanita sering bertanya (berdialog) kepada Rasulullah SAW tentang masalah-masalah hukum-hakam dalam agama dan didengar oleh kaum lelaki dan wanita yang hadir daripada sahabat-sahabat baginda. Bahkan sering pula mereka berdialog dengan para sahabat dan sebaliknya sebagaimana di saat ada seorang wanita yang
mengkritik Umar r.a. tentang perkara mas kahwin.

Rasulullah SAW pernah didatangi seorang wanita yang menawarkan dirinya untuk dikahwini oleh Rasulullah SAW dan membiarkan Rasulullah memerhatikan dirinya dari atas ke bawah, tetapi setelah tidak ada sambutan yang memberangsangkan, maka dia pun terus duduk di situ, lalu berkatalah salah seorang daripada kalangan sahabat:
"Kahwinkanlah wanita ini dengan saya".

Maka Rasulullah SAW terus mengahwinkan wanita tersebut dengan lelaki yang berminat kepadanya itu.

Ini semua bukti melihat kepada muka wanita itu adalah harus dan bukan aurat. Menurut Al-Qurtubi, suara wanita di saat berkata-kata bukanlah termasuk aurat, lelaki dibolehkan bercakap-cakap atau berdialog dengan wanita kerana ada hajat. Demikian juga sebaliknya mereka dibolehkan membuka muka dan tangannya kerana tujuan tertentu tetapi wanita tidak dibolehkan memerdukan, melembu
tkan atau mengindahkan suaranya ketika bercakap dengan lelaki.

Ia kerana perkara demikian boleh menimbulkan berahinya dan juga membuat ia tergoda dan suka. Dengan demikian sangat dianjurkan bagi kaum wanita untuk tidak berdialog dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya. Dalam ketentuan syariah yang lebih berhati-hati (warak), dimakruhkan kepada kaum wanita untuk meninggikan suara dalam membaca al-Quran, demikian pula tidak disyariatkan 'azan' kecuali untuk jemaah wanita sahaja.


Di dalam syariat fikah, apabila seorang wanita ingin menegur kesilapan yang dilakukan oleh imam di dalam solat berjemaah, maka ia tidak boleh menegur dengan membaca 'tasbih' sebagaimana yang dilakukan oleh lelaki, tetapi cukup dengan menepuk tangannya sahaja sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Demikian pula wanita tidak disyariatkan untuk membaca bacaan-bacaan dalam sembahyang dengan bacaan yang nyaring pada sembahyang Maghrib, Isyak dan Subuh sebagaimana yang disyariatkan bagi kaum lelaki sewaktu melakukan sembahyang sendirian. Semua ini menunjukkan bahawa wanita mesti menjaga dan berhati-hati terhadap fitnah yang boleh disebabkan oleh suara dan perhiasan mereka, bukan bermakna suaranya dan perhiasan yang zahir merupakan aurat.


Di antara yang menggoda lelaki adalah derai tawa (ketawa) seorang wanita di depan mereka, apalagi jenis ketawa yang memberahikan. Demikian pula senyuman diiringi dengan ketawa kecil yang seksi lagi menggoda, inilah yang sangat dilarang oleh agama kerana untuk menjaga harga diri wanita dan juga mencegah daripada timbulnya fitnah. Sama juga membunyikan perhiasan yang ters
embunyi di kakinya.

Jika perkara tersebut dikatakan aurat, kenapa Rasulullah SAW sendiri pernah mengizinkan isteri baginda melihat pertunjukan dua orang lelaki Habsyi bermain pedang di pekarangan masjid dan mendengar dua wanita bernyanyi di rumahnya.

Ini berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim, daripada Aisyah r.a, katanya, Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk ke tempatku. Ketika itu di sampingku ada dua orang gadis yang sedang mendendangkan nyanyian tentang hari Bu'ats. Ku lihat Rasulullah SAW berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada saat itulah Abu Bakar masuk dan ia marah kepadaku.

Katanya, "Di tempat rumah Nabi ada seruling syaitan?''

Mendengar seruan itu, Nabi SAW menghadapkan muka baginda kepada Abu Bakar dan berkata:

"Biarkanlah kedua-duanya, wahai Abu Bakar".


Dalam satu peristiwa lain, Rasulullah SAW mendengar nyanyian seorang wanita yang bernazar untuk memukul rebana dan bernyanyi di hadapan Rasulullah SAW. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tarmizi, daripada Buraidah, menyebut:

Suatu hari Rasulullah SAW pergi untuk menghadapi suatu peperangan. Setelah baginda pulang dari medan perang, datanglah seorang wanita kulit hitam lalu berkata,

"Ya Rasulullah, aku telah bernazar, iaitu kalau tuan dipulangkan Allah dengan selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di hadapan tuan".

Mendengar hal itu, Rasulullah SAW bersabda:

"Jika demikian nazarmu, maka tabuhlah. Tetapi kalau tidak, maka jangan lakukan".

Kesemua keterangan tersebut menunjukkan bahawa suara wanita dan perhiasan yang zahir daripadanya bukan aurat. Rasulullah SAW juga secara praktikal pernah berbicara dengan kaum wanita seperti mana ketika menerima bai'at daripada kaum ibu sebelum dan sesudah hijrah. Bahkan dari segi syarak, baginda tidak pernah menghalang kaum wanita untuk melaksanakan urusan jual beli, menyampaikan ceramah, mengaji al-Quran, membaca qasidah atau syair.


Jika suara wanita itu dianggap aurat, sudah tentu dari segi hukum syarak dianggap haram.
Keterangan ayat al-Quran dan hadis, ditambah dengan kisah-kisah yang dapat dijadikan teladan pada zaman Rasulullah SAW dahulu seharusnya membuka mata fikir kita untuk tidak terus 'menzalimi dan menghukumi' wanita secara sewenang-wenangnya.



Hawa:Aurat Atau Bukan?
www.iluvislam.com
Mohd Shauki Abd Majid*
Editor: arisHa27
Blogger Templates

Usrah

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on
Share

Oleh: Hussaini (Bagaimana Anda Selepas Usrah?)

"Usrah itu dimulakan dengan Kafarah al-Majlis dan Surah al-Asr. Diakhiri dengan Surah al-Fatihah"

Begitulah tarbiyyah mengajarkan kita. Pembinaan ummah ini memerlukan lebih daripada 1 atau 2 atau 3 jam seminggu daripada seorang muslim itu. Pengorbanannya, untuk tajarrud ilallah, untuk meletakkan dalam dirinya, 100% untuk perjuangan ini, melebihi kepentingan peribadi pada setiap detik, hinggalah di saat-saat akhir itu. Hinggakan matinya juga diharapkan menguntungkan islam, seperti matinya ghulam dalam hadis ghulam ad-dakwah, tafsir kepada Surah al-Buruj.

Namun, ikhwah dan akhwat yang amat kucintai sekalian,

Tarbiyyah juga mengajar kita untuk mengikut marhalah (tahapan) perkembangan manusia dalam kita melahirkan 'full-timer muslim' itu. Ianya menuntut kita bersabar, membiarkan anak didik kita berkembang selari dengan masa, seumpama menunggu buah delima hijau bertukar warna.

Walaupun ia kelihatan sudah berseri-seri, jangan gopoh memetiknya. Terkadang, kita nampak buah delima itu sudah cukup kemerahan, terasa ingin sangat menganyangnya, merasai setiap biji delimanya, yang dibayangkan sudah merah ranum seperti kulitnya. Namun, jika kuning dan merah itu masih belum sebati di selaput luarnya, merekah di hujung kantungnya itu pun belum pasti, kita pasti akan kecewa, kerana hanya butir-butir mentah bakal menjadi santapan, tanpa kita mampu memperbaikinya kembali. Tanpa kita mampu untuk mengharapkan buah itu berkembang, menjadi buah yang kita impi-impi, mimpi-mimpikan selama ini...

Itulah yang digambarkan oleh As-Syeikh Hassan Al-Banna dalam risalahnya:

"Bukan dari golongan kami orang yang memetik buah sebelum masaknya."

Bekerja mengikut marhalah itu merupakan rahmat, dan jika sebaliknya, merupakan bala, gambaran amal yang sia-sia.

Jauh daripada bekerja mengikut konsep-konsep umum dakwah, apatah lagi mengikut keperluan marhalah ini, menyebabkan dakwah yang kita lakukan ini tidak ubah seperti majlis-majlis ilmu yang biasa. Dakwah kita yang sepatutnya penyeruan ke arah pembebasan daripada penghambaan sesama manusia ini, seringkali menjadi sekadar dakwah menyeru ke masjid. Tiada matlamat yang jelas. Tiada amal yang terarah. Tiada penguasaan bahan yang mantap. Tiada penyempurnaan dengan kemahiran bermain dengan hati-hati insani.

"Dakwah kita adalah segalanya", hanya tinggal kata-kata. Kerana akhirnya, kita hanya berusrah selama 1 jam, 2 jam atau 3 jam seminggu, tanpa merasakan ruh usrah dalam diri bermula tamatnya usrah. Kadang-kadang, apabila kita semakin tidak bersedia, kita lebih selesa jika keluar beramai-ramai dan mendirikan 'usrah makan'. Berkumpul di kedai-kedai mamak, borak-borak kosong, dan mendidik anak-anak usrah bercakap yang sia-sia. Kata mereka, "Itu lebih baik daripada tiada apa-apa". Dan kata mereka lagi, "Usrah bukan rigid dalam halaqah-halaqah itu sahaja".

Kataku,

"Benar dan salah". Benar, usrah itu tidak terbatas dalam halaqah-halaqah perbincangan itu semata-mata. Salah, kerana anda tidak akan berhasil apa-apa jika masih ingin bersenang-senang, bermalas-malasan begitu.

Hendak mengetahui hakikat usrah serta rukunnya? Mari kita bersoal jawab dengan Al-Quran:

Apa yang ingin dibincangkan dalam usrah, ya akhi?

"Sebagaimana Kami telah mengutuskan kepadany seorang rasul, (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu (Tazkirah: Tazkiyatul Nafs) dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Quran: Tafsir) dan Hikmah (Sunnah: Sirah dan Hadis), serta mengajarkan apa yangbelum kamu ketahui. (Taujihat dan Musykilah)"

(Al-Baqarah 2: 151)

Selepas usrah, apa yang kita harapkan kita semua rasai?

"Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku."

(Al-Baqarah 2: 152)

Takutnya ana, ya akhi. Jika ada masalah dalam usrah, apa yang perlu ana buat?

"Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan SABAR dan SOLAT. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar."

(Al-Baqarah 2: 153)

Naqib itu Ubiquitous?

Kefahaman akan pentingnya sebuah perjumpaan yang sebegitu, dengan syarat-syarat sah usrah itu, memandu kita untuk lebih berdisiplin dalam membina rijal-rijal. Sama seperti khususnya pembinaan para sahabat rasulullah, bukan bidaah yang direka-reka. Allah sudah menyediakan templatenya, kita hanya sebagai pelaksana.

Kita tahu, bahawa, setiap minggu, usrah sebegitu wajib dilaksanakan. Dan ketahuilah sahabatku, perjumpaan setiap minggu itu akan menentukan komitmen anak-anak usrah pada minggu-minggu seterusnya. Ia akan menjadi penentu keterikatan anak-anak didik dengan saff dakwah ini. Hakikat kefuturan bermula di sini, sekiranya kita hanya mampu membuatkan mereka berfikir tentang islam, semasa halaqah kecil, sementara itu sahaja.

Disinilah letaknya kelemahan usrah-usrah di sekolah, yakni usrah-usrah yang diwajibkan, tanpa mengambil kira bahawa pelajar-pelajar itu merupakan potensi-potensi ummah yang layak membuat keputusan sendiri, kita sewajarnya hanya membimbing, bukan memaksa mereka. Gagalnya usrah kita, jika sang murobbi, hanya bertaut di hati tatkala usrah. Jika sang murobbi lansung tidak diingat mereka ketika dibaca doa rabithah. Kerana, pembinaan usrah tidak diasaskan dengan ukhuwwah islamiyyah yang menyejukkan perasaan. Aku pernah merasai kekeringan itu dahulu, yang mematikan hasratku untuk bertemu lagi dan lagi. Kita tidak sudi, jika perjumpaan kita itu mekar dengan cinta sesama saudara, yang akan melonjakkan semangat yang membara.

Sang Murobbi seharusnya menjadi umpama bakteria yang ubiquitous, berada di mana-mana sahaja. Dengan perasaan atau tanpa perasaan, mereka tidak serik-serik bertemu. Menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil, tindakan orang-orang bijak pandai, sebelum ia besar, lebih besar dari segala kebaikan mereka. Sang Murobbi sentiasa membakar tekad mad'u, agar mereka tidak larut dalam biah jahiliyyah, menjadi sebahagian dari penyumbang kekufuran. Berada bersama, mengingatkan mereka tentang kedamaian bersama islam, sehinggakan mereka merasakan, inilah biah dan suasana yang ingin mereka wujudkan dalam masyarakat mereka. Sudah tentunya semua ini tidak dapat dilaksana, jika taaruf tidak dilaksanakan dengan setelitinya.

Mad'u masih lagi Anonymous bagimu?



Blogger Templates

Muhajir Ummu Qais

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on Wednesday, March 10, 2010
Share

Petikan diambil dari Muslim Teenagers


Penjelasan ke-6 dari Hadits “ إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata: Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”

(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang).

Apakah yang dimaksud dengan “Muhajir Ummu Qais?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya kita lihat lafadz “ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ” di dalam hadits yang artinya “Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan”.

Siapakah Ummu Qais?

Imam An Nawawi rohimahullohu menyebutkan:

“Para ulama menukil bahwa seseorang hijrah dari Makkah ke Madinah. Ia tidak menghendaki, dengan hijrahnya itu, keutamaan berhijrah. Ia hanyalah berhijrah supaya bisa menikah dengan seorang wanita yang bernama Ummu Qais, sehingga ia dijuluki dengan Muhajir Ummi Qais (orang yang berhijrah demi Ummu Qais). Jika ditanyakan, Nikah termasuk tuntutan syari’ah, lantas mengapa ia masuk tuntutan dunia? Ada yang menjawab, Secara zhahirnya ia tidak keluar untuk berhijrah, ketika ia menyembunyikan sesuatu yang menyelisihi zhahirnya, maka ia layak mendapat celaan. Umpamakan dengan hal itu, orang yang keluar secara zhahirnya untuk menunaikan haji dan niatnya berdagang. Demikian pula orang yang keluar untuk menuntut ilmu, jika meniatkannya untuk mendapatkan jabatan atau kekuasaan.

Sabdanya, “maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” mengandung konsekuensi bahwa tidak ada pahala bagi orang yang haji dengan niat berdagang dan ziarah. Hadits ini mesti dibawa pada pemahaman jika penggerak dan motivasi hajinya hanya berdagang. Jika motivasinya haji, maka ia mendapatkan pahala sedangkan berdagang mengikuti haji tersebut. Hanya saja pahalanya berkurang, berbeda dengan orang yang pergi hanya untuk haji. Jika motivasinya adalah keduanya, ia masih memungkinkan mendapatkan pahala, karena hijrahnya tidak murni karena dunia. Sementara penyimpangannya diberi penilaian sendiri, karena ia mencampur adukkan amalan akhirat dengan amalan dunia. Tetapi hadits ini menetapkan hukum niat yang murni saja. Adapun orang yang meniatkan keduanya tidak bisa dibenarkan (penilaian) bahwa ia hanya berniat dunia saja.”

(Ad Durrah as-Salafiyah Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah).

Imam Ibnu Daqiqi al-‘Ied rohimahullohu berkata:

“Hadits ini muncul karena satu sebab, karena mereka menukil bahwa seseorang hijrah dari Makkah ke Madinah untuk menikahi seorang wanita yang disebut Ummu Qais. Ia tidak menginginkan, dengan hal itu, keutamaan hijrah, sehingga ia disebut Muhajir Ummu Qais (orang yang hijrah demi Ummu Qais).”

(Ad Durrah as-Salafiyah Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah).

Jadi dari perkataan Imam An Nawawi dan Ibnu Daqiqi al-Ied bisa kita tarik satu kesimpulan yakni yang dinamakan Ummu Qais adalah seorang wanita yang diidamkan oleh seseorang yang tinggal di Makkah. Orang itu ikut hijrah dari Makkah menuju Madinah akan tetapi ia meniatkannya untuk menikah dengan Ummu Qais.

Namun hal pokok yang paling penting dari “Ummu Qais” ini adalah mengikhlaskan amal semata-mata hanya untuk meraih ridha Alloh semata. Amalan akhirat bila diniatkan hanya semata-mata untuk meraih kedudukan di dunia, maka ia akan mendapatkan apa yang ia niatkan itu yakni kedudukan dunia, tapi ia sama sekali tidak mendapatkan pahala. Seseorang menuntut ilmu, kita semua tahu bahwa menuntut ilmu itu termasuk ibadah namun orang ini menuntut ilmu dengan tujuan agar mudah memperoleh jabatan. Ia mendapatkan jabatan tersebut namun pahala dan keutamaan yang terkandung dari menuntut ilmu tersebut tidak ia dapatkan sama sekali alias sia-sia.

Begitu juga dengan orang yang Jihad. Jihad adalah amalan tertinggi dalam syari’at dan barangsiapa yang menunaikannya maka keutamaan besarlah yang ia dapatkan dan bila ia gugur (diwafatkan Alloh di dalam Jihadnya itu) maka ia mendapatkan mati syahid yang konsekuensinya adalah surga. Tetapi Jihad ini juga harus dengan niat yang lurus bukan untuk niat lain seperti ingin disebut pemberani atau yang semacamnya.

Diriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit rodhiyallohu ‘anhu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang berperang di jalan Alloh dan berniat mendapatkan tali ikat unta, maka ia akan mendapatkan apa yang ia niatkan.”

(HR. Ahmad (Musnad Imam Ahmad, 5/315), ad-Darimi (2/654), an-Nasa’i (6/24)).

Maka dari itu, setiap amalan sudah seharusnya diniatkan semata-mata untuk meraih pahala dan keutamaan semata bukan untuk selain daripada itu. Allohu A’lam.



Blogger Templates

Amalan Berdasarkan Niat

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on
Share

Petikan diambil dari Pena Bertatih

Daripada Amirul Mukminin Abu Hafs Umar bin al-Khattab r.a., kata beliau: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Hanyasanya (sah atau sempurna) segala amalan dengan niat. Hanyasanya untuk setiap orang apa yang dia niatkan. Oleh itu sesiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya.”

“Sesiapa yang berhijrah kerana dunia yang akan diperolehinya atau perempuan yang akan dikahwininya, maka hijrahnya adalah kepada tujuan dia berhijrah tersebut.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Kita dapat lihat betapa Agama Islam yang diturunkan Allah azzawajalla ini mengajar kita setiap inci perkara mengenai kehidupan dan cara-cara untuk menjalaninya. Dalam konteks ini, Islam mengajar kita untuk berniat. Perkara niat mungkin nampak kecil tetapi implikasinya adalah sangat besar. Kita diajar untuk bermula dengan pengakhiran di minda.

Dalam sesuatu organisasi, apa yang penting adalah misi dan visi. Tanpa visi dan misi yang jelas, organisasi itu tidak akan berjaya malah pada hemat saya, tidak akan dapat bergerak sekalipun. Ia seperti orang yang bermain golf tanpa lubang dan bermain bola tanpa gol. Tiada tujuan dan matlamat.

Hadith amalan berdasarkan niat ini mengajar kita untuk mempunyai tujuan dan matlamat dalam setiap perkara yang kita lakukan. Dalam konteks lain, Islam mengajar kita untuk tentukan Goal kita terlebih dahulu sebelum mengorak langkah melakukan sebarang kerja. Lebih dari itu, kita umat islam diajar untuk tetapkan matlamat itu hanya kepada Allah.
Apa signifikannya menetapkan matlamat hanya kepada Allah?

Untuk menjawab persoalan ini, kita perlu menjelaskan beberapa persoalan philosophy. Kita tahu, kehidupan dunia ini adalah sementara, dan kita tahu segala apa yang ada di atas dunia ini adalah sementara. Apa yang wujud dan kekal hanyalah Allah swt. dan kita semua ini pasti pada suatu hari nanti akan dibangkitkan. Kehidupan di dunia ini pula hanyalah kehidupan sementara malah hanyalah permainan dan gurau senda semata-mata:

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia tu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning dan kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaannya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu” Al Hadid, ayat 20.

Jika kita tidak meniatkan kerja buat kita hanya kepada Allah, secara automatiknya kita akan meniatkan pekerjaan serta amalan kita kepada benefits yand ada di dunia seperti permainan, perhiasan dan saling berbangga, serta berumba dalam kekayaan dan anak keturunan. Niat melambangkan mahu. Maka jika diniatkan kepada keduniaan maka dunialah yang kita mahu dan mengikut sunnah Allah, dunialah yang didapatinya. Ini lah yang berlaku kepada Muhajir Ummu Qais.

Sebaliknya jika kita meniatkan perbuatan ikhlas kepada Allah, kita menolak kemahuan keduniaan atau benefit keduniaan yang kita akan dapat hasil dari niat itu. Apa yang kita mahu hanyalah redanya. Dengan memasang niat yang ditujukan hanya untuk Allah, kita sebenarnya telah memulakan langkah dengan pengakhiran di minda (Begin with the end in mind). Pengakhiran itu adalah hari akhirat, hari pembalasan. Maka apabila kita meniatkan perbuatan kita kerana Allah, natijahnya kita akan mendapat balasan di hari pengakhiran nanti.

Blogger Templates

BETULKAN TANGGAPAN KITA MENGENAI MAZHAB

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on
Share

Petikan ini diambil dari Islam itu Indah dan Mudah

Contoh dialog biasa dalam masyarakat Melayu:

Si A: Kau nak tau tak Mazhab Maliki kata pegang anjing tak payah samak.

Si B: Ish kau ni, tu mazhab maliki. Kita mazhab syafie kene la ikut mazhab kita.

Si A: Tapi mazhab maliki tu ada hujah yang kuat.

Si B: Tapi kita tetap mazhab syafie.. Kau tak belajar agama ke?

Si A: Tapi Imam Malik guru kepada Imam Syafie!

Bukti bahawa pengasas mazhab melarang bertaklid (ikut bulat-bulat) kepada mereka:
Imam Abu Hanifah berkata: (mazhab hanafi)
“Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145)

Imam Malik berkata: (mazhab maliki)
“Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

Imam ahmad bin Hambal berkata: (mazhab hambali)
“Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

Imam Asy-Syafi’i, beliau berkata: (mazhab syafie)
“Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

Imam Syafie pernah berkata: “Setiap apa yang aku ucapkan lalu didapati hadis yang sahih yang diriwayatkan daripada Rasulullah menyanggahi pendapatku, maka hadis itu yang lebih utama, jangan kamu mengikutiku.” (Al-Zahabi, Siyar A’lam al-Nubala. 10/34, Beirut: Muassasah al-Risalah).

Juga al-Imam al-Syafii: “Setiap hadis daripada Nabi s.a.w. adalah pendapatku, sekalipun kamu tidak mendengarnya daripadaku.” (Al-Zahabi, Siyar A’lam al-Nubala. 10/35). Katanya lagi: “Manusia telah sepakat bahawa sesiapa yang telah ternyata kepadanya sesuatu sunah daripada RasululLah s.a.w. maka tidak boleh dia meninggalkannya kerana pendapat seseorang dari kalangan manusia.” (Ibn Qayyim al-Jauziyyah, ‘Ilam al-Muwaqqi‘iin, 2/263).


Juga katanya: “Setiap perkara yang aku telah perkatakannya, sedangkan ada riwayat yang sahih di sisi ulama hadis daripada Nabi yang menyanggahi apa yang aku ucapkan, maka aku menarik balik ucapanku semasa hidupku dan selepas mati.” (Ibn Qayyim al-Jauziyyah, ‘Ilam al-Muwaqqi‘iin, 2/266). Sehingga beliau berkata: “Apabila sahihnya sesuatu hadis maka itulah mazhabku.” (Al- Zahabi, Siyar A’lam al-Nubala. 10/35).



Dari keempat-empat pernyataan terbuktilah bahawa mazhab yang empat melarang bertaklid (ikut bulat-bulat) kepada mereka jauh sekali mewajibkan mengikut mazhab mereka.

Kata Ulama mahsyur Dr Yusuf Qardawi:


Sikap taksub mazhab fekah begitu kuat dalam masyarakat kita, sehingga mereka enggan melihat pandangan-pandang luar mazhab mereka yang mungkin lebih kukuh dan bermanfaat. Kelompok agama jenis ini hanya berusaha agar pengikutnya tidak keluar, sekalipun terpaksa menolak dalil yang sahih. Kata Dr. Yusuf al-Qaradawi: “Golongan yang taksub ini tidak membolehkan sesiapa yang mengikut sesuatu mazhab keluar daripadanya, sekalipun dalam beberapa masalah yang jelas kepada pengikut mazhab bahawa dalil mazhabnya lemah. Sehingga mereka menyifatkan sesiapa yang keluar mazhab sebagai tidak berpendirian. Perbuatan ini sebenarnya mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh Allah SWT. Seakan-akan mereka menganggap imam-imam mazhab mempunyai kuasa membuat syari`at dan perkataan mereka adalah hujah syarak yang dipegang dan tidak boleh dibangkang. Ini sebenarnya menyanggahi tunjuk ajar imam-imam mazhab itu sendiri, kerana sesungguhnya mereka telah melarang orang ramai bertaklid kepada mereka atau selain mereka. Ini juga menyanggahi apa yang dipegang oleh golongan salaf umat ini iaitu para sahabah dan mereka yang selepas sahabah sepanjang kurun-kurun yang awal yang merupakan sebaik-baik kurun dan yang paling dekat kepada petunjuk Nabi. Justeru itu, para ulama besar umat ini dan para muhaqqiqnya membantah sikap melampau di dalam taklid mazhab yang menyamai apa yang dilakukan oleh ahli kitab yang mengambil paderi dan pendita mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”.( Dr. Yusuf al-Qaradawi, Al-Sahwat al-Islamiyyat bain al-Ikhtilaf al-Masyru’ wa al-Tafarruq al-Madhmum, m.s 202,Kaherah: Dar al-Sahwat (1991)

Blogger Templates

WAJIBKAH BERWUDHU' KETIKA BERURUSAN DENGAN AL-QURAN?

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on
Share

Petikan diambil dari Islam itu Indah dan Mudah

AMARAN: Kepada muslim melayu yang sudah tebal pemikiran "pak turut" nya dalam agama, jangan melatah dahulu. Baca sehingga habis dahulu

Perlukah berwudhu ketika berurusan(baca, pegang) dengan Al-Quran?

Pertama: Ijma' fuqaha' menetapkan harus membaca alQur'an tanpa wudhu' dan tanpa menyentuh musyhaf, namun berwudhu' itu lebih afdhal (Imam Syaraf anNawawi, alMajmu' Jld 2, ms 76)

Kedua: Orang berhadas kecil membaca, menyentuh dan membawa dari musyhaf. Khilaf fiqhi, jumhur (termasuk Syafi'iyah) menegahnya berdasarkan dalil Qur'ani alWaqi'ah:78-79 dan hadis riwayat Malik dan Baihaqi dari Umar bin Hizam.

Para pentahqeeq (penilai semula) terdiri dari pentarjih hadis dan ahli tafsir alQur'an berpendapat orang berhadas kecil dan besar boleh membawa, menyentuh dan membaca alQur'an. Antaranya ialah Imam alHafidz asySyawkani (nailool Awthor, Jld 1), Imam alHafiz Ibn Hajar (Fathul Baari, Jld 1) mereka menggunakan pendapat Ibn Abbas, pentafsir nombor satu alQur'an yg mentafsirkan ayat 79 dalam surah alWaqi'ah yg secara mutlak merujuk kepada Malaikat, kerana ayat 11-16 (S Abasa) dan ayat alBuruj 21-22) memperkuatkan tafsiran ayat 79 (S Waqi'ah) itu adalah Malaikat. Dari pengkaji hadis pula mendapati hadis-hadis yg menegah orang hadas menyentuh alQur'an ada cacatnya.
Seorang pengkaji semula hukum-hukum fiqih dari Saudi, Syaikh Abu Yusof Abd Rahman Abd Samad,as-ilatu thalatah Haulaha al Jadal merumuskan dari perselisihan fuqaha' ini,. hukum pertengahan ialah Makruh hukumnya orang berhadas menyentuh dan membawa musyhaf.

Bagaimana pula dengan perempuan haidh?

Jumhur menetapkan wanita haidh tidak boleh memegang musyhaf dan membaca darinya. Namun boleh membaca ucapan Bismillah, alhamdulillah, yarhamkallah, dan ungkapan pendek-pendek yg lain. Dia juga boleh membaca kitab tafsir atau membaca ayat jika dijadikan hujah atau mengajar di sekolah. Jumhur menetapkan haram wanita haidh membaca alQur'an dari musyhaf atau ingatan atau sebarang kitab dengan bacaan yg kuat dengan tujuan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu bergantung kepada keadaan dan tujuan. Fiqh Sunah.

Bagaimana caranya untuk menghapuskan ayat Al-Quran yg tidak dikehendaki(koyak, rosak) lagi?

Tidak boleh melemparkan mana-mana lembaran dari al-Quran ke tanah atau ke tempat yang keji, selama di dalamnya terkandung walaupun satu huruf ataupun satu ayat suci al-Quran. Bahkan, jika ia dilakukan atas jalan menghina dan mengeji, maka jatuh kufur kepada pelakunya, wal-iyazubillahi min zalik.

Jika terdapat mana-mana lembaran al-Quran yang sudah reput atau sudah tidak dapat digunakan lagi, maka tidak mengapa menghapuskannya dengan cara membakarnya. Ini adalah untuk mengelakkan al-Quran itu dari terdedah kepada penghinaan dan kejian.

Saidina Usman bin Affan pernah memerintahkan membakar mushaf (al-Quran), kecuali al-Quran versinya (Usmani). Ini adalah bertujuan untuk memelihara al-Quran itu. Para sahabat yang lain pula tidak mengengkari perbuatan saidina Usman r.a.

Al-Sayuthi di dalam al-Itqan telah menukilan dua cara yang dibenarkan untuk menghapuskan lembaran al-Quran. Iaitu:
1. Menghapuskannya dengan air.
2. Membakarnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh saidina Usman r.a.

Al-Sayuthi mengatakan bahawa tidak dibenarkan mengoyakkannya.

Ada ulamak yang mengatakan bahawa, membakarnya adalah lebih baik dari menghapuskannya dengan air. Berlainan dengan al-Qadhi Husain yang melarang membakarnya, kerana ia melanggar perlakuan menghormati. Al-Nawawi mengatakan membakarnya sebagai makruh.

Manakala terdapat di dalam sebahagian kitab mazhab Hanafi, jika lembaran al-Quran tidak dapat digunakan, maka hendaklah ditanam di dalam bumi, kemudian hendaklah diletakkan tanda untuk mengelakkan dari dipijak oleh kaki manusia.

Kesimpulan, setelah melihat kepada pendapat-pendapat ulamak di atas, syeikh Athiyah Saqar telah membuat kesimpulan, bahawa membakarnya adalah cara yang paling ringan sekali. Di samping itu, hendaklah kita menjaga niat kita, iaitu untuk memelihara al-Quran itu dari ditimpa penghinaan dan kejian. (Lihat Ahsanul Kalam Fil Fatawa, vo.7, hal. 197)

Blogger Templates

Did not make up the days from previous Ramadhaan

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on
Share

Article took from Worship

Question:
Concerning the one who had days to make up from the previous Ramadhaan and had not done so when the following Ramadhaan arrived, is he a sinner and does he have to make an expiation or not?

Response: Anyone who has days to make up from the (previous) Ramadhaan then he has to make them up before (the arrival of) the next Ramadhaan. It is permissible for him to delay his fast until Sha'baan (the 8th month, just before Ramadhaan). However, if the following Ramadhaan arrives and he still has not made up the (missed) days without (a valid) reason, then he has committed a sin. So now he has to make up those days along with feeding a poor person for every day (he has to make up) as this is what the group of companions of the Prophet (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) had ruled with. The amount of food required would be half a saa'a for every day from that which is the norm in the country and is to be given to a number of people or, even, just one person. As for he who had a valid excuse for delaying in making up the fasts, because of illness or travel then he has to make up the days missed only and he does not have to feed any poor people, for the general statement of Allaah (subhaanahu wa ta'aala): {and whoever is ill or on a journey, the same number (of days which one did not fast must be made up) from other days} [Soorah al-Baqarah, Aayah 185].

And Allaah (subhaanahu wa ta'aala) is the Provider of Success.

Shaykh Ibn Baaz
Fataawa Ramadhaan - Volume 2, Page 555, Fatwa No. 537;
al-Fataawa libni-Baaz - Kitaab ad-Da'waah, Volume 2, Page 158-159

Blogger Templates

Ruling regarding one who had not fasted for many years

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on
Share

Article took from Worship

Question:
What is the ruling regarding a Muslim who had not fasted (during the month of Ramadhaan) for many years, despite carrying out the other obligatory acts of worship upon him? Knowing he had nothing hindering him from fasting, does he have to make up that which he has missed if he makes repentance?

Response: That which is correct is that he doesn't have to make up that which he has missed if he makes repentance. This is because all acts of worship are enjoined upon the believers at stated times. So, if someone intentionally delays any of them, such that the time passes without a (valid) reason, Allaah (subhaanahu wa-ta'aala) will not accept this act from him. So based upon this, there is no point in making up that which he missed. However, he should make repentance to Allaah ('azza wa-jall) and increase in doing good actions and one who seeks forgiveness, Allaah forgives him (inshaa'Allaah).

Shaykh Ibn 'Uthaymeen
Fataawa Ramadhaan - Volume 2, Page 556, Fatwa No. 539;
Fataawa ash-Shaykh Muhammad as-Saalih al-'Uthaymeen - Volume 1, Page 536

Blogger Templates

Signs of Doomday

Posted by Mohammad Afieq ibn Ismail on
Share

The Prophet Muhammad (Salallaho Alaihi Wassallam) foretold 72 signs that would appear near Doomsday:

*btw, I bolded the ones I felt have already occured

1. People will leave prayer
2. People will usurp Ama’naat
3. Lying will become an art
4. There will be murders on the slightest of disagreements
5. Interest will become common
6. There will be very tall buildings
7. People will sell Religion for the world
8. People will treat relatives badly
9. Justice will become a rarity
10. Lies will be considered truth
11. Clothes will be of silk
12. Persecution will become common
13. Divorces will become common
14. Sudden deaths will increase
15. The usurper of Ama’naat will be considered honest and honourable
16. The keeper of Am’naat will be called an usurper of things given to him for safekeeping
17. Liars will be thought of as honest
18. Honest people will be thought of as liars
19. False accusations will become the norm
20. It will be hot in spite of rain (global warming?)
21. Instead of wishing for children, people will pray that they not have children
22. People from bad backgrounds and with bad upbringing will live a life of luxury (material, not peaceful)
23. Good people, when they try to practice, will be cut off from the world
24. Previously good people will also usurp Ama’naat
25. Leaders will become persecutors
26. Ulema and Qaris will commit adultery
27. People will wear clothes of animal skin
28. But their hearts will smell and will be dead
29. And will be bitter
30. Gold will become common
31. Demand for Silver will increase
32. Sin will increase
33. Peace will become rare
34. Ayaats from the Quran will be decorated and calligraphy will become common
35. Mosques will be decorated
36. And will have tall minars
37. But hearts will be empty
38. Alcoholic drinks will be consumed
39. Punishments ordered by the Shariah will be revoked and will no longer be implemented
40. Women will order their mothers around (yes sadly I’ve seen this)
41. People who are with naked feet, naked bodies and against religion will become kings
42. Women will trade along with men
43. Women will imitate men
44. Men will imitate women
45. People will swear by things other than Allah and the Quran
46. Even Muslims will be prepared to give false testimony, without being incited to it
47. Only people one knows will be greeted with the salaam
48. The knowledge of the shariah will be used to earn worldly things
49. Acts which earn the Akhirah, will be used to earn the world
50. Assets belonging to the nation will be considered and treated as personal treasures by the rulers
51. Ama’naat will be considered ones personal asset
52. Zakaat will be considered a penalty
53. The lowest and the worst man in the nation will become its leader
54. People will not obey their fathers
55. And will mistreat their mothers
56. And will not hold back from harming their friends
57. And will obey their wives
58. And the voices of men who commit adultery will be raised in mosques
59. Women who sing will be treated with great deference
60. Instruments of music will be kept with great care
61. Alcohol will be drunk on the highways
62. People will be proud of their acts of persecution
63. Justice will be sold in the courts
64. The number of men in the police force will increase
65. Instead of music, the Quran will be used to gain pleasure for its tune
and style (qirat), not for what it preaches, its meaning or for rewards in the Akhirah
66. Animal fur will be used
67. The last of the Ummat will curse those before them. (clearly seen today in people who call the Prophet’s companion’s names)
68. Either Allah will send a Red Storm upon you
69. Or Earthquakes
70. Or your faces will be changed
71. Or a rain of rocks from the skies. Asteroids, Meteors
72. Lies will become a habit of the rulers and the rich The Prophet Muhammad Sallahu alayhi wa sallam also
said:
1. Alcohol will be called Sherbat, and will be considered Halal
2. Interest will be called Trade, and will be considered Halal
3. Bribes will be called Gifts, and will be considered Halal
4. Women will be naked in spite of wearing dresses. (This Hadith has baffled the Ulema for a very long time until now) The 3 kind
of naked women
are:
(1) Those who wear see-through dresses
(2) Those who wear tight dresses and
(3) Those whose dresses are so short,that they expose the body
5. Women will have hair, like the hump of a camel. (This hadith too, had baffled the Ulema for quite a long time till they saw
current hairstyles. I believe it came into fashion about 5 years ago.)

Jihad is fast approaching every corner of the world. We have to reinforce our inner strength with the help of ALLAH s.w.t. by dzikr in abundance to always remember ALLAH s.w.t to seek protection, sincere in our action, salat , read Al-Quran, tabligh and jihad. These are the guiding principle of tabligh as practiced by our beloved Prophet Muhammad s.a.w.

P/s : MashaAllah, we already near to the Doomday. Only 16/72 left. Start praying to Allah, may Allah bless us all.


Blogger Templates